Banyuwangi || Transisinews – Banyaknya kaum intelektual yang bermunculan membuat negeri ini semakin bisa berbenah lebih baik lagi. Kritikan yang membawa solusi adalah hal yang dinanti oleh pemerintah saat ini. Bukan kritikan tanpa solusi yang berakhir pada “negosiasi”.
Sedangkan menurut Robert Klitgaard, pengertian korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri), atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.
Korupsi yang membudaya di negeri ini sulit untuk dihilangkan. Bahkan korupsi itu sendiri muncul dari para oknum intelektual yang mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggapnya tidak pas atau melenceng dari aturan.
Alih – alih menyuarakan aspirasi atas isu strategis seperti dugaan tindak pidana korupsi maupun kolusi dan nepotisme, namun dibelakang ” kursi ” terselip permintaan jumlah kitir atau kertas pekerjaan. Tidak ada yang salah dengan hal ini. Yang salah adalah yang tidak mendapatkan karena tidak pandai membaca peluang dan kesempatan.
Korupsi tidak pandang bulu. Kesempatan korupsi bisa menghampiri siapa saja seperti eksekutif, legislatif, pengusaha, wiraswasta. Contoh jika di legislatif terkait dengan pokok pikiran – pikiran ( pokir ) yang diperjualbelikan atau terdapat fee. Lalu eksekutif terkait dengan wewenang dengan jabatan yang diemban dab di pengusaha dengan menyuap oknum pejabat untuk memperlancar jalannya usaha.
Lalu untuk apa bersuara kritis jika berakhir pada sebuah negosiasi yang tidak lain hasil daripada isu strategis itu sendiri?. Tidak dibenarkan dalam undang – undang untuk kompromi melakukan tindak pidana seperti korupsi, namun jika dilihat dari kepantasan diluar undang – undang dan turunannya, lebih baik tawarkan solusi dan kerja sama yang baik untuk semua masyarakat.
Jika memang dirasa ada dan masuk unsur tindak pidana, negara ini adalah negara hukum. Maka langkah yang tepat adalah mempercayakan persoalan itu pada aparat penegak hukum. Percayalah, jika memang masuk unsur tidak akan ada negosiasi di sana.
Pengkritisi tidak harus seirama dengan pemangku jabatan yang ada, dan sebaliknya pemangku jabatan harus bisa memilih dan memilah dengan baik. Bukan karena siapa yang menyuarakan dan bukan karena jumlah masa yang disuguhkan. Tapi konsistensi dalam memberikan pemikiran untuk membangun sebuah sistem yang lebih baik dan bisa dirasakan langsung oleh masyarakat banyak pada umumnya.
Bukan berebut narasi dan pansos hanya untuk kepentingan pribadi. Pengkritisi dan pemangku jabatan harus sama – sama memiliki komitmen. Jika sepakat, jalankan kesepakatan itu dengan baik. Lalu jika tidak ada kesepakatan, terus lanjutkan dengan dasar – dasar yang ada dan objektif.(semar)
Rilis : Veri Kurniawan ( FOSKAPDA )